Pendahuluan
Secara konstitusional, peran dan kedudukan Wakil Presiden dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah amandemen
UUD 1945, belum mendapatkan kejelasan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan
tidak jelasnya peran dan kedudukan Wakil Presiden.
Pertama, kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu
Presiden, sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2). Sebagai
Pembantu Presiden kedudukan Wakil Presiden menjadi setara dengan menteri yang
juga sama-sama sebagai Pembantu Presiden. Wakil Presiden hanya merupakan the second man (orang
kedua);
Kedua, Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden,
sebagaimana layaknya status menteri sebagai Pembantu Presiden yang bertanggung
jawab langsung kepada Presiden; dan
Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan, belum pernah
ada Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada
rakyat. Pertanggung jawaban selalu dibebankan kepada Presiden.Karena itu,
posisi Wakil Presiden sebagai “Pembantu Presiden menjadi kurang amemiliki
kewenangan dalam pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan oleh beberapa
alasan: Pertama,
dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang,
jabatan Wakil Presiden tidak mempunyai wewenang apa-apa. Fungsinya hanya
menggantikan Presiden; Kedua, dalam perjalanan sejarah
ketatanegaraan di Indonesia, Negara Republik Indonesia pernah tidak memiliki
Wakil Presiden. Pada masa pemerintahan Soekarno (1956-1967), Presiden
berjalan sendiri menjalankan roda pemerintahan, tanpa didampingi oleh Wakil
Presiden. Mohammad Hatta yang diangkat sebagai Wakil Presiden pada tanggal 18
Agustus 1945, mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 1 Desember
1956. Sejak Mohammad Hatta mengundurkan diri, jabatan Wakil Presiden tidak
pernah diisi. Demikian pula, pada masa awal pemerintahan Soeharto (1967-1973).
Presiden Soeharto diangkat oleh MPRS sebagai Pejabat Presiden, tanpa ada
pengangkatan Pejabat Wakil Presiden. Pada waktu Sidang Istimewa tanggal 7-12
Maret 1967 yang mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor; XXXIII/MPRS/1967 mengenai
pencabutan kekuasaan pemerintahan Soekarno sekaligus menetapkan Jenderal
Soeharto sebagai Presiden, posisi Wakil Presiden tidak disinggung. Indonesia
baru kembali memiliki Wakil Presiden, setelah diangkatnya Sri Sultan
Hamengkubuwono IX pada tanggal 25 Maret 1973. Pada kenyataannya,
meskipun tanpa Wakil Presiden, pemerintahan dapat berjalan; Ketiga, hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada
setiap masa mempunyai karakter yang berbeda-beda.
Tulisan ini, akan mencoba menelaah peran Wakil Presiden RI pertama, Drs.
Mohammad Hatta. Bagaimanakah sesungguhnya peran Mohammad Hatta selama menjabat
sebagai Wakil Presiden? Apakah selama masa jabatannya, Wakil Presiden tidak
memiliki kewenangan apapun. Atau sebaliknya, dari beberapa kebijakan politik
yang diambil oleh Mohammad Hatta, justru pada masa awal pemerintahan RI, Wakil
Presiden memiliki peran yang cukup penting. Dengan seiring perkembangan politik
dan social Indonesia penerus bangsa ini akan menjadi lebih baik atau
sebaliknya?
Pembahasan
1. A. Masa pemerintahan orde lama
Orde
Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan PresidenSoekarno di Indonesia.Orde Lama
berlangsung dari tahun 1945 hingga1968. Dalam jangka
waktu tersebut, Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di
saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hattasebagai
Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai
parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini
mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia
yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak
dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa
sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal
bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian
Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres
No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10
partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai
berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.
Dengan
berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini
tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan
politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan
pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan
“Deklarasi Bogor.”
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan
kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus
sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad
Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu.
Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik
menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai
berikut:
Pertama, setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam
penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi
cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal.
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno
menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah
berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS
1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu
konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya
partai-partai politik;
Kedua,
konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi
ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika
Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi
Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang
sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya
Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi
Indonesia 1950-1980.
Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno
dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik.
Sejak tahun 1930-an, keduanya telah beberapa kali ditahan dan diasingkan
oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan
kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan
sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi,
keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan.
Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak
desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad
Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi
kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung
Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi
salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks
Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun
1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus
juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad
Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung
jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat
dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab,
tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner
guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya.
Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno
mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan
para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno
mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya berisi:
1. Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi
Terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet
gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi
berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden
ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang
mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama
(NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk
menciptakan kegotongroyongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan
fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi
nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu,
Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin
memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku
Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan
persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi
hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu
dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini
adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu
sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas
demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya,
telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun
tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno
menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember
1956, Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil
Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957
berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno
memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri
Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi
keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan
yang telah mereka jalin sejak lama.
Pengunduran
diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden.
Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan
gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan
pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan
pendekatan Mohammad Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola
Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan
itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi
belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan
ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM,
Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah
mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali.
Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas “Masalah
Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan
mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian
menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari “bentuk
kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957
dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja.
Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan
sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu
kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal.
Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan
fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945
kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat
menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin
jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun
1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan
tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara lain,
Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah tanggal
17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16
Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang
Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia
menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan
Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil
Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang
ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk
sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka tindakan
Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu,
Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang
terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi
kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga
koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di
Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim
lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian
yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan
yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat
dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk
mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya
pada 1959 ketika Presiden Soekarnosecara
unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang
memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959
hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label “Demokrasi Terpimpin“. Dia juga menggeser kebijakan luar
negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting
negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun
Blok Uni Soviet. Para
pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Baratpada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak
menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada
akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno
bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan
massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis
seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang
pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah
sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan
pembentukan Federasi Malaysia,
hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia
dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi
perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan
menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan
pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan
Baru (CONEFO) sebagai
tandingan PBB danGANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada
tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara
pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat
Pada saat
kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan
langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi
dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal,
dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran
antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika
Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan
Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada
Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai
banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan
untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk
membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya.
Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu,
Mayjen Soeharto, menumpas
kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini
untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang
dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai setidaknya 500.000; yang
paling parah terjadi di Jawadan Bali.
1. B. Masa pemerintahan orde baru
Orde Baru
dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966.
diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di
Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah
terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian
besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula
pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk
mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut
dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama
berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga
dengan konsensus utama.
2. Sedangkan
konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus
utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari
1967), lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat
Presiden sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.
Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan
utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan
Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme
di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII
itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai
diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa
setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba
telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam
penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres
VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang
cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam
kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang
(Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal
A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua
PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua
Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama
RI)
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan
yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya
dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program
perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik
GerakanDalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:
(1)
Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme,
marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama,
segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang
murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;
(2)
Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;
(3)
Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan
penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu,
juga mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres.
Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk
ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan
strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan
korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha
menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi
penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi
Trisula. Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat
kepada Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut
operasi itu karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan
strategis.
Sesungguhnya
kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal timbul.
Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak kembalinya
pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang bukan
hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin
Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu
tempat. Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia,
akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan yang
korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak
bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan
kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira
Michael Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga
merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada
UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan
agama sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana.
Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang
paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di
berbagai daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat
keamanan. Dakwah-dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di
larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang
sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga
menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi.
Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap
ideology Pancasila.
1. C. Masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh penting pada
masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu
Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Berakhirnya
rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda.
Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus
dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun
nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu
menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan
pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama,
kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya
perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat,
kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan
kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai
Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun
lain nyatanya.
Pemerintahan B.J Habibie
Sidang
Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di
kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi,
yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya
kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan
ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ
Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik
dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas danMuchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie
menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan
beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden
Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik
baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina
pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban
militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya
proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat
karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Beberapa
langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun
begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan
Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan
kejadian Tragedi Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian
penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya
wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan
tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun
masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia.
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya
adalah kembali mendapatkan dukungan dariDana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor
untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan
mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses
pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas
dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak
ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu
yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau
menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya
diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.
Pemilu untuk
MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputrikeluar menjadi pemenang pada
pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto – sebelumnya selalu
menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%;Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik
Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk
masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshufflekabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan
Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di
bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus
berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama,
terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah
yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan
kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan
masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan
tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan
politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati soekarno
putri
Pada Sidang
Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan
pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan
alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Susilo Bambang
Yudoyono
Pemilu 2004,
merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif
dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya
kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya
perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang
melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo
Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz),
berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan
meraih 60,95 persen.Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru
Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai
cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh
lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah
kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang
bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi
SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di
kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja
mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.
Penutup
Sistem
presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi.
Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang
kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal
diformulasikan sebagai ”Trias Politica” oleh Montesquieu. Presiden dan wakil
presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan
konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu
presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden. Bentuk MPR
sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak
hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi
politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial,dan sebagai ciri
demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan
sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. Presiden
menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris
MPR. Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegang supremasi kedaulatan, MPR
adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan
eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian MPR yang menjalankan kekuasaan
legislatif, sedangkan presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan
kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan presiden menyusun undang-undang. DPR
dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer
maupun presidensial. Sistem presidensial dipandang mampu menciptakan
pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan
efektifitas yang tinggi. Sehingga para anggota legislatif bisa lebih
independent dalam membuat UU karena tidak khawatir dengan jatuh bangunnya
pemerintahan.Sistem presidensial mempunyai kelebihan dalam stabilitas
pemerintahan, demokrasi yang lebih besar dan pemerintahan yang lebih terbatas.
Adapun kekurangannya, kemandekan (deadlock) eksekutif-legislatif, kekakuan
temporal, dan pemerintahan yang lebih eksklusif. Secara konstitusional, DPR
mempunyai peranan untuk menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan,
membuat undang-undang dan peranan lain seperti penetapan pejabat dan duta.
Presiden tak lagi bertanggung jawab pada DPR karena ia dipilih langsung oleh
rakyat. DPR tak akan mudah melakukan impeachment lagi karena ada MK.